Blitar (sapablitar.com) – Pagi itu, Sabtu (22/11/2025), matahari di atas Alun-Alun Kanigoro bersinar hangat, sehangat senyum puluhan ribu warga yang memadati jantung Kabupaten Blitar tersebut. Tidak ada sekat, tidak ada kelompok eksklusif. Di satu sudut, terlihat rombongan ibu-ibu berhijab tertawa lepas bersama para pemuda gereja. Di sisi lain, tokoh adat dengan blangkonnya berjalan beriringan dengan pemuka agama lain.
Mereka berkumpul bukan untuk berdebat soal teologi, bukan pula untuk memamerkan identitas politik. Mereka hadir untuk satu tujuan sederhana namun sakral: berjalan bersama dalam damai.
Dalam peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) ke-80 Kementerian Agama ini, Blitar menyajikan sebuah “miniatur Indonesia” yang sesungguhnya. Sekitar 20.000 pasang kaki melangkah di aspal yang sama, membuktikan bahwa perbedaan keyakinan bukanlah tembok penghalang untuk saling bergandengan tangan.
Menenun Kebhinnekaan
Di tengah lautan massa itu, Kepala Kanwil Kemenag Jatim, Akhmad Sruni Bahtiar, berdiri dengan tatapan haru. Baginya, pemandangan di Kanigoro hari ini adalah oase yang menyejukkan.
“Saya bahagia,” ucapnya pelan, namun penuh makna. “Meskipun berbeda agama, ras, suku, hari ini semua hadir dengan satu semangat.”
Kalimat itu sederhana, tapi resonansinya kuat. Di era di mana perbedaan seringkali dijadikan bahan bakar konflik di media sosial, warga Blitar memilih jalan sunyi namun nyata yaitu merayakan perbedaan itu sendiri.
Kegiatan jalan sehat ini seolah menjadi metafora kehidupan berbangsa. Jalannya mungkin panjang dan berliku, terik matahari mungkin menyengat, namun jika ditempuh bersama-sama dengan rasa saling menghormati, perjalanan itu menjadi ringan dan menyenangkan.
“Perbedaan itu tidak mungkin dihilangkan,” kata Bahtiar, mengingatkan kita pada realitas takdir Tuhan. “Tapi perbedaan itulah yang menyatukan kita.”
Hari ini, Alun-Alun Kanigoro tidak hanya dipenuhi oleh manusia, tetapi juga dipenuhi oleh harapan. Harapan bahwa toleransi bukan sekadar kata indah di pidato pejabat, melainkan laku hidup sehari-hari yang tercermin dari sapaan hangat antar tetangga yang berbeda rumah ibadah.
Blitar telah mengirimkan sinyal kuat ke seluruh penjuru negeri: bahwa di sini, kerukunan bukan lagi sebuah cita-cita, melainkan sebuah budaya yang telah mendarah daging. Dan 20.000 warga yang hadir hari ini adalah saksi hidupnya. (Ant)











